Islamnya Kita
Manusia sesungguhnya akan menjalani
kehidupan sesuai dengan fitrah yang dimilikinya. Sejauh apa pun ia berjalan
menyelisihi fitrah kemanusiaannya, ia akan berusaha mencari jalan kembali.
Sebagaimana kisah seorang pembunuh, yang dalam titik jenuh setelah membunuh 99
korbannya, ia pun tersadar. Dicarilah olehnya tempat dimana ia bisa menemukan
fitrah diri sebagai manusia. Allah SWT membawa langkahnya untuk bertemu dengan
seorang rahib. Sayangnya, sang rahib menyangkal dan mengatakan bahwa ia tak
mungkin kembali pada fitrahnya, ia telah terlanjur berlumur dosa. Si pembunuh
marah, ia pun tak segan memenggal kepala sang rahib. Genap sudah korbannya
menjadi 100 orang. Namun dirinya tak berputus asa.
Ia kembali mencari jalan
pertaubatan. Hingga ditemuilah seorang shalih yang memberi nasihat bijak
padanya. “Sungguh pintu taubaut terbuka luas untuk anda. Tinggalkanlah
lingkungan buruk yang selama ini membuat anda menjadi seorang pembunuh,
datangilah lingkungan baik yang akan menuntun anda menjadi orang yang
senantiasa beramal shalih guna menebus segala kesalahan anda di masa yang
lalu.”
Ia pun menangis sejadi-jadinya, menyesali
semua perbuatan salah yang membuatnya menjauh dari fitrah dirinya. Ia bulat
untuk bertaubat. Ia pun berkemas, meninggalkan lingkungan buruk yang selama ini
menjerumuskan pada kubangan maksiat. Langkahnya mantap menuju lingkungan baru
yang lebih baik. Ia telah bertekad untuk hijrah menuju dirinya yang fitrah.
Namun Allah menakdirkan lain bagi dirinya. Di tengah-tengah perjalanan,
nyawanya dicabut. Malaikat pun berselisih tentangnya. Malaikat Rahmat menilai
ia layak masuk surga karena telah bertaubat, sementara Malaikat siksa menilai ia pantasnya diseret ke neraka,
karena meski telah mengucap taubat namun ia belum benar-benar membuktikan bahwa
dirinya telah menjadi orang yang kembali pada fitrahnya. Akhirnya malaikat
bersepakat, ia dimasukkan ke surga, alasannya jarak dirinya saat meninggal
dunia lebih dekat pada lingkungan baik yang ia niati sebagai tempat tujuan
hijrahnya dibanding jarak ke lingkungan buruk tempat masa lalunya yang telah ia
tinggalkan.
Kisah di atas dituturkan oleh Rasulullah
Muhammad saw yang kemudian diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Imam Ahmad.
Kanjeng Rasul yang mulia mengajarkan pada kita dari kisah ini tentang hakikat
fitrah. Ya, fitrah manusia adalah pada al-khair (jalan kebaikan). Dan, Al-khair
itu adalah al-Islam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah saw
bersabda:
“Setiap
anak dilahirkan di atas fitrah (kesucian) maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pertanyaan sederhana mungkin muncul di
benak kita. Jika fitrah manusia adalah Islam. Mengapa ada orang nasrani, hindu,
budha bahkan ada yang atheis? Mengapa ada orang jahat, perampok, koruptor,
oportunis, pragmatis dan penjilat? Mengapa ada orang munafik, musyrik,
pluralis, liberal juga sekuler? Jawabannya sudah ada pada hadist di atas. Semua
bermuara pada lingkungan yang berpengaruh kuat. Lingkungan terdekat adalah
keluarga, orangtua. Lalu, lingkungan pergaulan kita sehari-hari. Lingkungan
juga bisa dipengaruhi adat istiadat peninggalan nenek moyang yang seringkali
teramat sulit untuk ditinggalkan.
Kita bisa belajar dari sirah perjuangan
Rasulullah betapa susahnya mengislamkan penduduk Makkah waktu itu. Mereka,
masyarakat jahiliyah Quraisy belum bisa lepas dari keyakinan-keyakinan lokal
yang dibudayakan turun-menurun. Penyembahan mereka pada tuhan yang banyak susah
ditinggalkan dan diganti menuju penyembahan hanya pada Yang Maha Esa, Allah
SWT. Budaya jahiliyah yang dilakukan masyarakat Makkah saat itu juga tak mudah
untuk disingkirkan. Mabuk-mabukan, berjudi, main perempuan dan membunuhi anak
perempuan sudah teramat biasa sehingga dianggap wajar oleh mereka. Ketika
Rasulullah menyeru hendak memberantas itu semua, timbullah perlawanan.
Hingga seorang Abu Thalib, paman yang sangat
mencintai Rasulullah SAW, tak kuasa menolak budaya jahiliyah Quraisy yang
dibawanya hingga sakaratul maut menjemput. “Wahai Paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Ilallaah maka engkau akan
selamat,” bujuk Rasul sesaat menjelang kematian paman yang dikenal selalu membela
dan melindungi perjuangannya itu. Sayangnya, saat nyawa masih tertahan di
kerongkongan, hanya satu kalimat yang diucapkannya. “Tetap pada agama Abdul
Muthalib, tetap pada millah nenek
moyang kita....” ujar Abu Thalib mengakhiri hidupnya tetap dalam keadaan tak
beriman.
Padahal Allah SWT tegas-tegas melarang
untuk mengikuti segala macam adat istiadat dan budaya yang hanya menjerumuskan
kita pada api neraka. FirmanNya:
“Jika dikatakan pada mereka, ‘Ikutilah apa-apa yang telah
diturunkan Allah’, mereka menjawab, ‘ Tetapi kami mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh nenek moyang kami’. ’Apakah mereka akan
mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
sesuatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al Baqarah: 170)
“Dan apakah mereka
akan mengikuti bapak-bapak mereka, walaupun syetan menyeru mereka ke dalam
siksa api neraka yang menyala-nyala?” (QS. Luqman: 21)
Label jahiliyah yang disematkan pada waktu
itu bukanlah identik pada sifat kebodohan, keterbelakangan atau pun
ketertinggalan secara lahiriah. Namun, jahiliyah lebih dimaknai sebagai sikap
penolakan kebenaran yang berasal dari Allah SWT yang disyiarkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Hal ini dapat dibuktikan salah satunya pada pribadi Abu Jahl,
Bapaknya orang-orang jahiliyah. Nama aslinya adalah ‘Amr ibn Hisyam. Ia dikenal
juga dengan nama Abul Hakam. Al Hakam berarti seorang yang berada dalam
lingkaran pemerintahan (hukumah) kota Makkah. Juga seorang yang memiliki banyak
hikmah kebijakan (hakiim) dan atau orang yang memiliki kekuasaan untuk
menentukan hukum (al haakim). Pada
kenyataannya, Abu Jahl alias ‘Amr ibn Hisyam adalah seorang yang pandai
bacatulis, ahli sastra, hartawan dan dikenal cerdas lagi terpandang di antara
kaumnya.
Sejarah rupanya berulang. Saat kini, kita
hidup juga di jaman jahiliyah. Meski semua nampak serba canggih dan modern,
namun tak sedikit yang menolak kebenaran Islam. Tak semua ditolak memang, tapi
sebagian-sebagian.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir
kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan
kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada
yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta
bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian
(iman atau kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu
siksaan yang menghinakan.” (QS al-Nisa': 150-151).
Pernikahan sesama muslim diatur dengan
syariat Islam melalui Kantor Urusan Agama, namun mengapa lokalisasi perzinahan
juga masih diakomodir oleh pemerintah? Di saat para pejabat negara diambil
sumpah jabatannya dengan menggunakan al Quran di atas kepalanya sebagai simbol
ketaatan, tapi mengapa justru aturan-aturan yang dibuatnya tak pernah
memperdulikan al Quran sama sekali bahkan terkesan mencampakkannya? Jika kita
disarankan untuk jangan lupa berzakat dan bersedekah, tapi mengapa riba dan
segala perangkatnya (bank konvensional, pola kredit ribawi dan lainnya) masih
tetap digunakan? Banyak sekali anjuran agar akhlak kita disesuaikan dengan yang
ditauladankan Nabi SAW namun mengapa dalam berpolitik kita tak mencontoh Rasul,
malahan mengikuti sistem demokrasi yang tak pernah sekali pun dicontohkan
Rasul?
Bukan hanya itu, ketika nasionalisme dianggap
sebagai warisan dari para pendiri bangsa ini yang notabene juga muslim, maka sebagian dari kita pun kemudian
beralasan untuk tetap mempertahankannya. Hak asasi manusia, liberalisasi,
hermeneutika, budaya permisif, hedonis semuanya serba jahiliyah. Berhala-berhala
jaman modern tak lagi berbentuk Latta dan Uzza namun berubah ujud menjadi
Harta, Tahta dan Wanita. Berapa banyak yang menyembah harta kekayaan, sehingga
ia rela mengorbankan segalanya, menghalalkan segala cara. Hawa nafsu pun
dijadikannya sesembahan.
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan
ilmuNya? Dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
penutup di atas penglihatannya” (QS. Al
Jatsiyah : 23)
Hidup di era jahiliyah modern saat ini
mungkin menjadi tantangan tersendiri bagi keberislaman kita. Sepertinya Allah
SWT tak pernah berhenti menguji hamba-hambaNya yang beriman. Saat Allah menguji
Rasul dan para sahabat dengan segala tantangan dan hambatan di jamannya, Allah
juga menguji kita sebagai pengikut Rasul yang setia dengan halangan dan
rintangan yang tak jauh berbeda.
"Apakah kalian mengira akan masuk surga padahal belum datang ujian yang
semisal dengan yang menimpa orang-orang sebelum kalian. Mereka ditimpa gangguan dan
marabahaya serta digoncangkan seguncang-guncangnya hingga Rosul dan orang-orang
yang beriman yang bersamanya berkata, "Kapankah pertolongan Allah
datang?" Ketahuilah, bahwa pertolongan Allah sangatlah dekat." (QS. Al-Baqoroh: 214)
Namun Allah jualah yang menakdirkan mental orang-orang
beriman sebagai mental para pemenang. Sebagaimana keimanan tentara Muhammad Al
Fatih yang menghantarkan mereka untuk menaklukkan konstantinopel. Simaklah
pidato Muhammad Al Fatih sebelum mereka berangkat berperang berikut ini:
“Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah
dan kunasehatkan untuk tetap bersabar. Jangan melangkah sekalipun kecuali
kalian selalu mengingat Allah. Kita berperang untuk meninggikan kalimat Allah
bukan karena ghonimah atau harta. Dan yang paling kukhawatirkan adalah
dosa-dosa kalian lalu menyerang kalian hingga tekad dan kekuatan kalian
melemah. Bertaubatlah kalian niscaya Allah akan memenangkan kita.”
Dan atas izin Allah, pasukan kaum muslimin berhasil
memenangkan peperangan.